Kupang (ANTARA News) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mendesak pemerintah Australia untuk segera mengumumkan hasil investigasi dan rekomendasi dari Komisi Penyelidik negara itu mengenai pencemaran minyak di Laut Timor. "Komisi Penyelidik Australia bentukan pemerintahan Federal Australia itu sudah menyerahkan hasil temuannya soal pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009 lalu, namun masih dibungkus rapat oleh pemerintah Australia," kata Tanoni di Kupang, Sabtu.

Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu mengatakan, pemerintahan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd harus segera mengumumkan hasil temuan Komisi Penyelidik Australia itu kepada publik sehingga tidak menimbulkan kesan "ada permainan dibalik kasus pencemaran Laut Timor".

Menurut mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia itu, hasil investigasi dari Komisi Penyelidik Australia sudah diserahkan kepada PM Kevin Rudd pada 18 Juni 2010, namun pemerintahan negara itu masih membungkus rapat hasil temuan tersebut dan belum mau mengumumkan kepada publik.

Menurut laporan jaringan YPTB dari Canberra, kata Tanoni, PM Kevin Rudd dan Menteri Sumber Daya Australia Martin Ferguson belum mau mengumumkan hasil investigasi tersebut, dengan alasan masih mempelajarinya.

Tim investigasi dari Komisi Penyelidik Australia itu melakukan penelitian sejak November 2009 terhadap meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009 dan telah mencemari perairan Australia Barat dan Utara serta Indonesia itu.

Tanoni yang juga penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta" itu mengatakan, tidak ada alasan apapun dari pemerintah Australia untuk memperlambat penyampaian temuan dan rekomendasi itu kepada publik.

"Seluruh proses investigasi yang dilakukan oleh Komisi Penyelidik Australia sejak awal telah dilakukan secara terbuka dan transparan kepada publik, sehingga tidak ada alasan bagi pemerintahan PM Kevin Rudd untuk menunda pengumuman itu," katanya.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, tim investigasi menemukan bahwa senior supervisor PTTEP Australasia Noel Tresure mengaku bahwa dirinya salah menghitung volume atau konten semen yang dimasukkan ke dalam sumur minyak itu sehingga mengakibatkan terjadinya ledakan.

Kadang-kadang aspek yang paling penting dari suatu subjek tidak segera jelas. Jauhkan membaca untuk mendapatkan gambaran yang lengkap.

Sementara itu manajer sumur minyak yang bertanggungjawab atas pekerjaan di Blok Atlas Barat kilang minyak Montara, Donald Millar mengakui telah lalai dan kurang tekun melakukan pengontrolan dalam pekerjaan itu serta tidak mengelak bahwa dirinya kurang memiliki keahlian yang cukup untuk melakukan pekerjaan itu.

"Seharusnya saya sudah dapat melihat kesalahan itu dan mengantisipasinya minimal enam minggu sebelum terjadinya ledakan tersebut," kata Noel Tresurer dan Donald Millar yang dikutip jaringan YPTB di Canberra, kata Tanoni.

Ia menambahkan, pemerintah Australia harus mengakui bahwa ledakan sumur minyak di Blok Atlas Barat Laut Timor itu bukan hanya sebagai sebuah kelalain tetapi merupakan bentuk kejahatan terhadap lingkungan dan kemanusiaan yang harus dituntut secara perdata maupun pidana.

Tanoni juga mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat memerintahkan Menteri Luar Negeri dan Menteri Lingkungan Hidup untuk segera mendapatkan hasil investigasi Komisi Penyelidik Australia secara lengkap dari pemerintah Australia, sebab yang paling dirugikan dalam bencana Montara ini adalah Indonesia.

Sejak bencana Montara ini terjadi, kata dia, selama 10 bulan perusahaan yang bertanggungjawab yakni PTTEP Australasia dan Pemerintah Australia tidak pernah menunjukkan kepeduliannya dalam mengantisipasi meluasnya ribuan barel minyak mentah, gas, condensat, zat timah dan bubuk kimia berbahaya (dispersant) di perairan Indonesia.

Bila dibandingkan dengan ledakan sumur minyak di Teluk Mexico, ujarnya, Presiden AS Barrack Obama langsung menuntut British Petroleum (BP) untuk membayar ganti rugi minimal 20 miliar dolar AS (190 triliun rupiah) dan diharuskan membersihkan tumpahan minyak dan memulihkan kembali berbagai kerusakan yang terjadi di laut.

Bahkan Presiden Barrack Obama samakan ledakan sumur minyak di Teluk Mexico itu lebih dahsyat dari kasus ledakan World Trade Centre 11 September 2000 lalu, sehingga ia langsung mengeluarkan moratorium terhadap pengeboran minyak laut dalam.

Menurut Tanoni, pernyataan Presiden Barrack Obama ini sangatlah tepat, sebab tumpahan minyak yang terjadi itu telah mematikan puluhan ribu orang yang menggantungkan nasibnya di laut serta kerusakan alam yang maha dahsyat terjadi.

(ANT/S026)